Toili, LirikBanggai.com– PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah beroperasi hampir 30 tahun di Kabupaten Banggai, kembali menuai kritik dari masyarakat.
Perusahaan yang beroperasi dari Kecamatan Luwuk Timur hingga Toili Barat ini dianggap lebih banyak menimbulkan masalah dibandingkan manfaat bagi warga sekitar.
Salah satu dampak yang paling dirasakan warga adalah pencemaran Sungai Samalore di Desa Samalore, Kecamatan Toili.
Sungai yang dulunya menjadi sumber air bersih bagi masyarakat Desa Samalore dan Argakencana kini tercemar limbah hitam berbau menyengat dari pabrik PT KLS. Akibatnya, ekosistem sungai rusak dan warga kehilangan akses terhadap air bersih.
Selain pencemaran lingkungan, truk pengangkut buah sawit dan minyak sawit mentah (CPO) milik PT KLS juga dituding sebagai penyebab utama kerusakan jalan di sejumlah wilayah.
Beberapa ruas yang terdampak parah antara lain jalur Desa Samalore-Ue Mea, Dusun Agro-Binatani (Desa Singkoyo), hingga Desa Bumi Harapan (Toili Barat). Kendaraan berat milik perusahaan ini disebut kerap melewati jalan tanpa kontribusi terhadap perbaikan infrastruktur yang rusak.
Tak hanya berdampak pada lingkungan dan infrastruktur, PT KLS juga mendapat sorotan terkait dugaan perampasan lahan petani lokal.
Warga mengklaim perusahaan mengambil alih tanah tanpa kompensasi yang adil dan mengalihfungsikannya menjadi kebun sawit.
Bahkan, tanaman sawit diduga ditanam di daerah aliran sungai (DAS), yang berisiko memperparah erosi dan banjir.
Selain itu, PT KLS disebut tetap memanen tandan buah segar (TBS) dari ribuan hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU) meski izinnya telah habis. Padahal, aturan mengharuskan perusahaan mengembalikan lahan setelah masa izin berakhir.
Dugaan pelanggaran lain yang mencuat adalah alih fungsi lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi perkebunan sawit, yang seharusnya diperuntukkan untuk restorasi ekologis.
“Ini bukti perusahaan mengabaikan hukum demi keuntungan,” tegas Koalisi Masyarakat Peduli Lingkungan Banggai.
Meski telah beroperasi selama puluhan tahun, PT KLS dinilai tidak menunjukkan tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar.
Warga menyebut tidak ada program Corporate Social Responsibility (CSR) yang nyata untuk pembangunan infrastruktur, fasilitas pendidikan, maupun tempat ibadah di desa sekitar.
Ironisnya, kesejahteraan karyawan perusahaan pun dipertanyakan. Upah pekerja dilaporkan sangat rendah, sehingga banyak keluarga yang hidup dalam kemiskinan.
Kondisi tempat tinggal para pekerja di perumahan perkebunan HGU pun sangat memprihatinkan, dengan dinding yang rusak serta atap yang bocor.
“Kalau ada pekerjaan lain, mungkin mereka tidak akan bertahan di sini,” ungkap seorang warga yang enggan disebut namanya.
Bahkan, perusahaan disebut tidak memberikan santunan kepada keluarga karyawan yang meninggal akibat kecelakaan kerja, memunculkan pertanyaan besar mengenai kepedulian PT KLS terhadap para pekerjanya.
Kritik terhadap PT KLS semakin menguat seiring pencalonan Direktur PT KLS, Sulianti Murad, sebagai calon Bupati Banggai. Masyarakat mempertanyakan bagaimana ia dapat menjamin kesejahteraan rakyat jika kesejahteraan karyawan sendiri masih terabaikan.
Banyak pihak menduga pencalonan Sulianti lebih didorong oleh kepentingan bisnis daripada kepentingan publik. “Ini upaya memperluas agenda perusahaan, bukan untuk rakyat,” kata seorang aktivis lokal.
Dengan berbagai persoalan yang melibatkan PT KLS, masyarakat kini menantikan langkah tegas dari pihak berwenang untuk mengatasi permasalahan ini.*