Oplus_131072

Ketika Ambisi Menolak Takdir Rakyat.

Komentar
X
Bagikan

Lirikbanggai.com – Dalam dunia politik, ada adagium tua yang tetap abadi : “Politik itu dinamis” Namun dinamika tak selalu berarti kemajuan. Kadang ia berubah wujud menjadi keras kepala, terutama saat ambisi melampaui kenyataan.
Inilah yang sedang terjadi dalam kontestasi Pilkada Banggai. Meski Pemungutan Suara Ulang (PSU) telah dilaksanakan sesuai perintah Mahkamah Konstitusi (MK), hasilnya tetap tak berubah: kemenangan tetap milik pasangan petahana.
Tapi alih-alih menerima kenyataan, pihak yang kalah kembali menggugat mengulang langkah hukum yang sama, seolah enggan percaya pada suara rakyat.
Padahal, politik bukanlah panggung para dewa. Kadang kalah, kadang menang. Tapi kalau rakyat sudah bicara dua kali dan kita masih tak mau mendengarkan, itu bukan lagi soal demokrasi—itu soal menolak takdir.
Langkah hukum yang terus diulang tak hanya membebani sistem, tapi juga mencerminkan rendahnya kedewasaan politik. Politikus sejati tahu kapan saatnya bertarung, dan kapan waktunya tunduk pada kehendak rakyat.
PSU telah dijalankan secara jujur, terbuka, dan adil. Tapi gugatan kembali diajukan. Upaya ini, menurut banyak pihak, bukan lagi bentuk pencarian keadilan, melainkan penolakan terhadap realita politik. Ini seperti menuduh curang setiap kali hasil tak sesuai harapan, dan kalau itu terus terjadi, lama-lama rakyat bisa muak.
Demokrasi bukan hanya soal menang. Ia juga tentang belajar menerima kekalahan dengan kepala tegak. Kita tak bisa menyebut sistem rusak hanya karena kita tak jadi juara.
Kini, semua mata tertuju kembali ke Mahkamah Konstitusi. Masyarakat berharap, MK bisa tetap objektif dan tidak menjadi ruang pengulangan ambisi yang tak pernah selesai. Sebab jika suara rakyat terus diabaikan, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar hasil pilkada, tapi masa depan kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri.*

Baca Juga