LIRIK BANGGAI, Palu – Praktik buruk yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit besar di Sulawesi Tengah tampaknya terus berlanjut tanpa penegakan hukum yang memadai. Sejumlah perusahaan sawit yang beroperasi selama beberapa dekade terakhir terus meraup keuntungan besar dari praktik ilegal dan merusak lingkungan.
Di Sulawesi Tengah, terdapat 178 Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh 16 perusahaan sawit, dengan total luas 128.265 hektar yang tersebar di tujuh kabupaten, yaitu Buol, Toli-Toli, Donggala, Morowali, Morowali Utara, dan Banggai. Salah satu contoh adalah PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di Kabupaten Banggai yang diketahui menanam sawit di kawasan hutan, melanggar aturan yang berlaku.
PT KLS, yang berlokasi di Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, memiliki HGU Nomor 15/HGU/1991 seluas 6.010 hektar. Selain itu, perusahaan ini juga memiliki izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (IUPHHK HTI) kepada PT Berkat Hutan Pusaka (BHP) dengan konsesi seluas 13.400 hektar berdasarkan SK 146/Kpts-II/1996. Namun, alih-alih menanam tanaman seperti sengon dan akasia sesuai izin, lahan tersebut diubah menjadi perkebunan sawit.
Pelanggaran dan Deforestasi Masif
Dalam laporan Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) berjudul “Sawit di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen Hijau” yang dipublikasikan pada Oktober 2022, disebutkan bahwa BHP adalah perusahaan patungan antara PT KLS dan PT Inhutani. Setelah PT KLS mengakuisisi saham Inhutani, mereka menjadi pemilik tunggal. Lahan yang seharusnya untuk HTI malah dialihkan menjadi perkebunan sawit dengan pendanaan Rp 11 miliar dari pemerintah.
KOMIU juga mencatat bahwa deforestasi bruto akibat aktivitas PT KLS untuk ekspansi sawit mencapai 19.971 hektar dalam 20 tahun terakhir, atau rata-rata 951 hektar per tahun. Lebih memprihatinkan, deforestasi ini meliputi kawasan konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang.
Aulia Hakim, pegiat lingkungan hidup Sulawesi Tengah, menegaskan bahwa PT KLS adalah ancaman bagi masyarakat dan lingkungan di Banggai. “Menanam sawit di kawasan hutan merupakan pelanggaran serius. Pemerintah harus bertindak tegas dan memberikan sanksi hukum kepada perusahaan ini,” ujarnya.
Data Pelanggaran
Menurut KOMIU, deforestasi yang dilakukan PT KLS melibatkan:
Area Penggunaan Lain (APL): 11.403,50 hektar
Hutan Produksi (HP): 3.468,18 hektar
Hutan Produksi Terbatas (HPT): 1.209,39 hektar
Hutan Lindung (HL): 112,83 hektar
Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang: 3.532,46 hektar
Di kawasan konservasi tersebut, sebanyak 1.077 hektar merupakan pembukaan baru antara 2019-2021. Selain itu, 931 hektar merupakan sawit yang sudah ada, dan 1.524 hektar lainnya masih belum teridentifikasi tetapi diduga kuat merupakan sawit muda.
Potensi Pelanggaran Hukum
PT KLS diduga melanggar beberapa aturan, antara lain:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, khususnya Pasal 17 Ayat (2) yang melarang perkebunan tanpa izin di kawasan hutan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, karena merusak kawasan konservasi.
Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi, mengungkapkan bahwa pada 2017 pihaknya menemukan perambahan sawit seluas 1.005 hektar di kawasan konservasi. PT KLS bahkan memfasilitasi 68 kepala keluarga untuk mengelola sawit plasma seluas 250 hektar.
Pada Oktober 2019, PT KLS dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah membuat perjanjian untuk melakukan restorasi kawasan konservasi. Namun, hingga kini belum ada kejelasan mengenai tindak lanjut kesepakatan tersebut.
Rantai Pasok yang Bermasalah
KOMIU menyoroti bahwa PT KLS tercatat sebagai pemasok bagi perusahaan multinasional seperti PepsiCo, Unilever, Wilmar, AAK, dan Nestlé. “Kami meminta Gakkum LHK, pemerintah provinsi, dan kabupaten untuk segera memanggil PT KLS. Selain itu, perusahaan pembeli CPO PT KLS harus memastikan mereka mematuhi kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE),” tutup Aulia Hakim.*













